Friday, June 5, 2015

Masjid: Rumah Tuhan atau Pusat Pembangunan Masyarakat ?

Masjid: Rumah Tuhan atau Pusat Pembangunan Masyarakat ?


Nangkula Utaberta[1]

Dewasa ini banyak pembangunan masjid dengan ukuran yang besar, berskala monumental dengan ornamentasi dan hiasan-hiasan yang mahal serta bergaya Timur Tengah. Ide dan perancangan seperti ini biasanya berakar dari pemahaman sang arsitek terhadap ide masjid sebagai rumah Tuhan. Ide masjid sebagai rumah Tuhan berusaha memposisikan masjid sebagai tempat beribadah, berkontemplasi dan tempat bertemunya seorang hamba dengan Tuhannya. Artikel ini akan berusaha menjelaskan apa sebenarnya konsep rumah Tuhan dan bagaimana implikasinya terhadap perancangan sebuah masjid disamping berusaha memberikan tentang fungsi dan peranan dari masjid pada masyarakat Muslim di jaman Nabi Muhammad SAW.

Ide Rumah Tuhan dalam Perancangan sebuah Masjid
“Pertimbangkanlah apa yang dimaksud dengan Masjid, kuil atau gereja. Ia adalah tempat dimana kita mencoba meningkatkan spiritual kita dan berjumpa Tuhan. Ia adalah tempat dimana ia tinggal, tempat dimana kita pergi mencari petunjuk dan berkomunikasi dengan-Nya. Ia adalah tempat dimana kita merasa tenang, damai dan nyaman karena kehadirannya. Ia juga tempat kita mengasingkan diri.”

Jimmy Lim, “Editorial comments”, Majalah Akitek, Vol. 2 no. 6, Nov-Dec.1990

Potongan artikel diatas menggambarkan bagaimana pendapat seorang arsitek terhadap sebuah tempat ibadah sebagai rumah Tuhan. Konsep ini sebenarnya merupakan konsep yang sudah sangat tua karena peninggalannya dapat kita lihat pada berbagai peradaban di dunia. Dari mulai Patung besar Zeus produk peradaban Yunani hingga berbagai Piramid raksasa produk kebudayaan Mesir.

  
Beberapa contoh bangunan yang dibuat dengan pemahaman konsep Rumah Tuhan.

Secara sederhana konsep ini meletakkan tempat ibadah sebagai tempat dimana Tuhan bersemayam. Karena Tuhan bersemayam dalam suatu rumah ibadat maka ia membawa sebuah implikasi langsung yang sangat besar. Tuhan tentu Maha Besar maka bangunan untuknya tentu saja harus “besar” Tuhan tentu Maha Indah maka bangunan untuknya tentu harus “cantik dan indah” Tuhan tentu Maha Kaya maka bangunan untuknya haruslah “semahal mungkin” Maka jangan heran jika kita menemukan berbagai bangunan ibadat yang dibina di luar ukuran bangunan biasanya (sangat besar), dibuat dengan sebagus-bagusnya dengan bahan yang semahal mungkin sebagai suatu bentuk pengabdian dari seorang hamba kepada Tuhannya. Pola dan metode pemikiran ini masih terjadi hingga saat ini bahkan seolah menjadi sebuah standar dalam pembuatan sebuah rumah ibadat, Ia harus besar, indah dan mahal.

Dalam Islam, Rumah Tuhan merupakan penterjemahan langsung dari kata Baitullah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Penggunaannya sendiri biasanya disematkan kepada masjid sebagai bangunan ibadah utama orang Islam. Sehingga segala konsepsi dan persepsi arsitek terhadap rumah Tuhan sebagaimana telah dibahas sebelumnya banyak diterapkan pada masjid.

 
Beberapa masjid dengan konsep Rumah Tuhan

Padahal jika kita mau mengkaji secara logika saja, “Jika Tuhan Maha Besar lalu untuk apa kita menghasilkan sesuatu yang sebesar-besarnya, karena jika kita menghasilkan bangunan yang sebesar mungkin pun Tuhan tetap akan Maha Besar dan apa yang kita lakukan tetap kecil dalam pandangan-Nya!” Demikian halnya dengan membuat seindah dan semahal mungkin, ia tetap tidak akan menambah atau mengurangi keindahan dan kekayaan-Nya, sebagaimana beberapa ayat berikut:

“ Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu untuk dirimu sendiri dan apabila datang hukuman bagi kejahatan yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu…”( QS Al-Isra’: 7).

“Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkianmu. Ingatlah kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka diantara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang yang membutuhkan-Nya; dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).”( QS Muhammad:37-38).

Dari sini jelaslah bahwa konsep rumah ibadat sebagai rumah Tuhan tidak memiliki sebuah dasar yang cukup untuk diterima dan dipakai pada perancangan masjid dalam masyarakat Islam.

Masjid Sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat 
Sebelum kita berbicara tentang konsep dan fungsi dari Masjid mungkin ada baiknya kita membahas arti dan makna sholat sebagai kegiatan utama yang dilaksanakan di masjid dengan melihat beberapa hadith berikut:

“Hudaifah meriwayatkan: Rasulullah SAW bersabda: Saya telah diciptakan berbeda dengan umat sebelumnya dalam tiga perkara: shaf-shaf kami telah dijadikan seperti shaf  para malaikat dan seluruh dunia merupakan masjid untuk kami, dan debunya telah dijadikan penyuci jika air tidak tersedia. Dan dia menyebutkan karakter yang lain juga.”(Shahih Muslim).

Anas bin Malik meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: Sholatlah ketika telah masuk waktunya, ia kemudian Sholat di kandang biri-biri dan kambing. Ia kemudian memerintahkan untuk membangun Masjid diatasnya…”(Shahih Muslim).

Jika Sholat berjama’ah dapat dilakukan dimana saja selama memenuhi syarat sebagai tempat sholat lalu untuk apa ada bangunan yang namanya Masjid? Syarat dari suatu tempat yang layak untuk sholat pun sangat mudah dan sederhana yaitu bukan pemakaman dan bersih dari najis atau kotoran. Bahkan pada beberapa kasus sebagaimana terlihat pada hadith di bawah ini Rasulullah justru menggalakkan orang untuk sholat di rumah.

Ibnu Umar meriwayatkan bahwa ia mengajak orang untuk sholat pada malam yang dingin, berangin dan hujan, dan ia kemudian mengamati setelah azannya sambil berkata sholatlah di rumah kalian, ketika malam itu dingin dan hujan dalam sebuah perjalanan dengan Rasulullah SAW beliau meminta Muadzin untuk meminta orang untuk sembahyang di rumah tinggal mereka.” (Shahih Muslim).

“Abdullah bin Abbas meriwayatkan bahwa ia berkata pada muadzin pada saat hari hujan : ketika kau sampai pada bagian kalimat Syahadat (bagian kalimat Adzan) jangan mengatakan “marilah kita Shalat,” namun katakanlah “sholatlah di rumahmu.” Si periwayat kemudian menceritakan bahwa orang-orang ketika itu banyak yang tidak setuju. Ibnu Abbas kemudian mengatakan: apakah kamu mengingkarinya? Ia (Rasulullah), yang lebih baik dari saya, melakukannya. Sholat Jum’at tetap harus dilakukan, namun saya tidak suka memaksamu untuk keluar dan berjalan pada jalan yang berlumpur dan licin.”(Shahih Muslim).


Ternyata ketika kita mempelajari sejarah kita mendapati sebuah kenyataan bahwa Masjid pada zaman Rasulullah memiliki banyak sekali fungsi-fungsi lain selain hanya sekedar tempat ibadah. Pada zaman Rasulullah ia juga merupakan pusat pemerintahan, pusat proses legislasi, pusat interaksi masyarakat dan berbagai fungsi duniawi lainnya, sebagaimana terlihat pada hadith berikut ini:

Diriwayatkan oleh Annas r.a: Beberapa barang datang kepada Rasulullah dari Bahrain. Rasulullah memerintahkan kepada parasahabat untuk membagikannya di dalam masjid-itu merupakan jumlah terbesar yang pernah diterima Rasulullah SAW. Ia meninggalkannya untuk sholat tanpa menengoknya sama sekali. Setelah beliau selesai sholat. Beliau duduk di hadapan barang-barang tersebut dan membagikannya kepada siapa saja yang ia lihat. Al Abbas datang kepada beliau dan berkata,”Wahai Rasul Allah berikan padaku sebagian barang-barang itu, karena saya perlu  memiliki bekal untuk saya dan Aqil. Rasulullah  SAW lalu meminta ia untukmengambilnya sendiri... (Sahih Al Bukhari).

Diriwayatkan oleh Aisyah r.a: Demi Allah saya ingat Rasulullah berdiri di depan pintu kamar saya sambil menyelimuti saya dengan mantel sehingga memungkinkan saya untuk melihat orang-orang Abbasiyah bermain dengan pisaunya di dalam masjid Rasulullah. Ia (Rasulullah) tetap berdiri untuk menemani saya hingga saya bosan dan pergi...(Shahih Muslim).

Sebuah utusan dari kaum Kristian Najran datang kepada Rasulullah. Seramai 60 pengendara kuda, 40 di antaranya berasal dari kaum bangsawan dari tiga kaum yang berkuasa….Mohammad bin Ja’far menceritakan kepada saya bahwa ketika mereka datang ke Madinah mereka datang ke masjid nabi ketika beliau sedang melaksanakan solat tengah hari….Para sahabat yang melihat mereka pada hari itu tidak pernah melihat mereka seperti utusan yang datang sebelumnya dan setelahnya. Masa untuk beribadah mereka telah datang mereka berdiri dan beribadah dalam masjid nabi, dan mereka dibiarkan untuk berbuat demikian. Mereka beribadah menghadap ke Timur.” (Sirah Ibn Ishaq, hal. 641 and 270).

Kenyataan sejarah ini memberikan sebuah visi dan pemahaman yang integral kepada kita akan peranan Masjid dalam Masyarakat Islam. Bentuk fisik Masjid Rasulullah pun sangat sederhana dengan penekanan pada aspek fungsional dan penggunaan ruang yang multi-fungsional sebagaimana terlihat pada sketsa dan rekonstruksi berikut:

Rekonstruksi Masjid Rasulullah dengan berbagai fungsi dan semangat ke-Islamannya

Bukan berarti kita harus membangun masjid kita sesederhana dan sebagaimana bentuk dari masjid Rasulullah diatas namun semangat yang terkandung di dalamnya sebagai produk dari peradaban yang terbaik dalam Islam tentu tidak dapat kita abaikan begitu saja. Dari visi dan pemahaman masjid sebagai pusat pembangunan masyarakat ini tentu saja akan memiliki implikasi yang berbeda pula terhadap perancangan sebuah Masjid. Kita sampai pada sebuah kesimpulan sederhana bahwa perbedaan cara pandang suatu masyarakat terhadap ritual dan kegiatan yang terjadi dalam Masjid secara meyakinkan memiliki pengaruh besar terhadap perancangan dan bentuk fisik dari Masjid yang dihasilkan.

Masjid Kita saat ini…
Artikel ini tidak bermaksud melarang apalagi mencela pembangunan masjid yang besar, indah ataupun mahal. Namun artikel ini mengajak kita untuk sama-sama mengevaluasi alasan di balik pembangunan besar dan mahal tersebut. Apakah dengan dana yang sedemikian besar masjid tersebut dapat lebih berfungsi, ataukah justru terjadi pemborosan dan pemubaziran dari uang yang digunakan.

   
  
Masjid modern perlu mengembangkan fungsinya dari hanya sebagai tempat sholat dan ibadah ritual saja.

Masjid bukan hanya bangunan fisik saja, namun ia seharusnya menjadi sebuah institusi pembangunan masyarakat yang tidak hanya berkutat dalam aspek ibadah ritual saja. Masjid sebaiknya dirancang agar dapat memfasilitasi berbagai kegiatan dan fasilitas seperti sekolah, perpustakaan, warung, toko kelontong dsb agar masyarakat dapat lebih merasa memiliki institusi ini dan ikut memakmurkannya. Hal ini dilakukan dengan memisahkan antara ruang sholat dengan ruang publiknya. Selain aspek fisik bangunannya, pembangunan masjid perlu dilakukan juga terhadap sumber daya manusia yang mengelola masjid tersebut. Pelatihan manajemen, motivasi dan keimanan perlu diberikan kepada mereka agar dapat bekerja dengan lebih baik, efisien dan efektif.



[1] Penulis adalah Profesor Madya di Jabatan Seni Bina, Fakulti Reka Bentuk dan Seni Bina, Universiti Putra Malaysia, E-mail: nangkulautaberta@gmail.com

No comments:

Post a Comment