Masjid: Rumah
Tuhan atau Pusat Pembangunan Masyarakat ?
Dewasa ini banyak pembangunan masjid dengan ukuran yang besar, berskala
monumental dengan ornamentasi dan hiasan-hiasan yang mahal serta bergaya Timur
Tengah. Ide dan perancangan seperti ini biasanya berakar dari pemahaman sang
arsitek terhadap ide masjid sebagai rumah Tuhan. Ide masjid sebagai rumah Tuhan
berusaha memposisikan masjid sebagai tempat beribadah, berkontemplasi dan
tempat bertemunya seorang hamba dengan Tuhannya. Artikel ini akan berusaha
menjelaskan apa sebenarnya konsep rumah Tuhan dan bagaimana implikasinya
terhadap perancangan sebuah masjid disamping berusaha memberikan tentang fungsi
dan peranan dari masjid pada masyarakat Muslim di jaman Nabi Muhammad SAW.
Ide Rumah Tuhan dalam Perancangan sebuah Masjid
“Pertimbangkanlah apa yang dimaksud dengan Masjid, kuil
atau gereja. Ia adalah tempat dimana kita mencoba meningkatkan spiritual kita
dan berjumpa Tuhan. Ia adalah tempat dimana ia tinggal, tempat dimana kita pergi
mencari petunjuk dan berkomunikasi dengan-Nya. Ia adalah tempat dimana kita
merasa tenang, damai dan nyaman karena kehadirannya. Ia juga tempat kita
mengasingkan diri.”
Jimmy Lim, “Editorial comments”, Majalah Akitek, Vol. 2 no. 6,
Nov-Dec.1990
Potongan artikel diatas menggambarkan bagaimana
pendapat seorang arsitek terhadap sebuah tempat ibadah sebagai rumah Tuhan.
Konsep ini sebenarnya merupakan konsep yang sudah sangat tua karena
peninggalannya dapat kita lihat pada berbagai peradaban di dunia. Dari mulai
Patung besar Zeus produk peradaban Yunani hingga berbagai Piramid raksasa
produk kebudayaan Mesir.
Beberapa contoh bangunan yang
dibuat dengan pemahaman konsep Rumah Tuhan.
Secara sederhana konsep ini meletakkan tempat
ibadah sebagai tempat dimana Tuhan bersemayam. Karena Tuhan bersemayam dalam
suatu rumah ibadat maka ia membawa sebuah implikasi langsung yang sangat besar.
Tuhan tentu Maha Besar maka bangunan untuknya tentu saja harus “besar” Tuhan
tentu Maha Indah maka bangunan untuknya tentu harus “cantik dan indah” Tuhan
tentu Maha Kaya maka bangunan untuknya haruslah “semahal mungkin” Maka jangan
heran jika kita menemukan berbagai bangunan ibadat yang dibina di luar ukuran
bangunan biasanya (sangat besar), dibuat dengan sebagus-bagusnya dengan bahan
yang semahal mungkin sebagai suatu bentuk pengabdian dari seorang hamba kepada
Tuhannya. Pola dan metode pemikiran ini masih terjadi hingga saat ini bahkan
seolah menjadi sebuah standar dalam pembuatan sebuah rumah ibadat, Ia harus
besar, indah dan mahal.
Dalam Islam, Rumah Tuhan merupakan penterjemahan
langsung dari kata Baitullah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Penggunaannya
sendiri biasanya disematkan kepada masjid sebagai bangunan ibadah utama orang
Islam. Sehingga segala konsepsi dan persepsi arsitek terhadap rumah Tuhan
sebagaimana telah dibahas sebelumnya banyak diterapkan pada masjid.
Beberapa masjid dengan konsep
Rumah Tuhan
Padahal jika kita mau mengkaji secara logika saja,
“Jika Tuhan Maha Besar lalu untuk apa kita menghasilkan sesuatu yang
sebesar-besarnya, karena jika kita menghasilkan bangunan yang sebesar mungkin
pun Tuhan tetap akan Maha Besar dan apa yang kita lakukan tetap kecil dalam
pandangan-Nya!” Demikian halnya dengan membuat seindah dan semahal mungkin, ia
tetap tidak akan menambah atau mengurangi keindahan dan kekayaan-Nya,
sebagaimana beberapa ayat berikut:
“ Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi
dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu untuk dirimu
sendiri dan apabila datang hukuman bagi kejahatan yang kedua, (Kami datangkan
orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu…”( QS Al-Isra’: 7).
“Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu
(supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan
kedengkianmu. Ingatlah kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan
(hartamu) pada jalan Allah. Maka diantara kamu ada orang yang kikir, dan siapa
yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan
Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang yang membutuhkan-Nya; dan jika
kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, dan
mereka tidak akan seperti kamu (ini).”( QS Muhammad:37-38).
Dari sini jelaslah bahwa konsep rumah ibadat
sebagai rumah Tuhan tidak memiliki sebuah dasar yang cukup untuk diterima dan
dipakai pada perancangan masjid dalam masyarakat Islam.
Masjid Sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat
Sebelum kita berbicara tentang konsep dan fungsi
dari Masjid mungkin ada baiknya kita membahas arti dan makna sholat sebagai
kegiatan utama yang dilaksanakan di masjid dengan melihat beberapa hadith
berikut:
“Hudaifah meriwayatkan: Rasulullah SAW bersabda: Saya
telah diciptakan berbeda dengan umat sebelumnya dalam tiga perkara: shaf-shaf
kami telah dijadikan seperti shaf para
malaikat dan seluruh dunia merupakan masjid untuk kami, dan debunya telah
dijadikan penyuci jika air tidak tersedia. Dan dia menyebutkan karakter yang lain
juga.”(Shahih Muslim).
Anas bin Malik meriwayatkan
Rasulullah SAW bersabda: Sholatlah ketika telah masuk waktunya, ia kemudian
Sholat di kandang biri-biri dan kambing. Ia kemudian memerintahkan untuk
membangun Masjid diatasnya…”(Shahih Muslim).
Jika Sholat berjama’ah dapat dilakukan dimana saja selama memenuhi syarat
sebagai tempat sholat lalu untuk apa ada bangunan yang namanya Masjid? Syarat
dari suatu tempat yang layak untuk sholat pun sangat mudah dan sederhana yaitu
bukan pemakaman dan bersih dari najis atau kotoran. Bahkan pada beberapa kasus sebagaimana terlihat pada hadith di bawah ini
Rasulullah justru menggalakkan orang untuk sholat di rumah.
Ibnu Umar meriwayatkan bahwa ia
mengajak orang untuk sholat pada malam yang dingin, berangin dan hujan, dan ia
kemudian mengamati setelah azannya sambil berkata sholatlah di rumah kalian,
ketika malam itu dingin dan hujan dalam sebuah perjalanan dengan Rasulullah SAW
beliau meminta Muadzin untuk meminta orang untuk sembahyang di rumah tinggal
mereka.” (Shahih Muslim).
“Abdullah bin Abbas
meriwayatkan bahwa ia berkata pada muadzin pada saat hari hujan : ketika kau
sampai pada bagian kalimat Syahadat (bagian kalimat Adzan) jangan mengatakan
“marilah kita Shalat,” namun katakanlah “sholatlah di rumahmu.” Si periwayat
kemudian menceritakan bahwa orang-orang ketika itu banyak yang tidak setuju.
Ibnu Abbas kemudian mengatakan: apakah kamu mengingkarinya? Ia (Rasulullah),
yang lebih baik dari saya, melakukannya. Sholat Jum’at tetap harus dilakukan,
namun saya tidak suka memaksamu untuk keluar dan berjalan pada jalan yang
berlumpur dan licin.”(Shahih Muslim).
Ternyata ketika kita mempelajari sejarah kita
mendapati sebuah kenyataan bahwa Masjid pada zaman Rasulullah memiliki banyak
sekali fungsi-fungsi lain selain hanya sekedar tempat ibadah. Pada zaman
Rasulullah ia juga merupakan pusat pemerintahan, pusat proses legislasi, pusat
interaksi masyarakat dan berbagai fungsi duniawi lainnya, sebagaimana terlihat
pada hadith berikut ini:
Diriwayatkan oleh Annas r.a: Beberapa barang datang kepada
Rasulullah dari Bahrain. Rasulullah memerintahkan kepada parasahabat untuk
membagikannya di dalam masjid-itu merupakan jumlah terbesar yang pernah
diterima Rasulullah SAW. Ia meninggalkannya untuk sholat tanpa menengoknya sama
sekali. Setelah beliau selesai sholat. Beliau duduk di hadapan barang-barang
tersebut dan membagikannya kepada siapa saja yang ia lihat. Al Abbas datang
kepada beliau dan berkata,”Wahai Rasul Allah berikan padaku sebagian
barang-barang itu, karena saya perlu
memiliki bekal untuk saya dan Aqil. Rasulullah SAW lalu meminta ia untukmengambilnya
sendiri... (Sahih Al Bukhari).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a: Demi Allah saya ingat
Rasulullah berdiri di depan pintu kamar saya sambil menyelimuti saya dengan
mantel sehingga memungkinkan saya untuk melihat orang-orang Abbasiyah bermain
dengan pisaunya di dalam masjid Rasulullah. Ia (Rasulullah) tetap berdiri untuk
menemani saya hingga saya bosan dan pergi...(Shahih Muslim).
Sebuah utusan dari kaum
Kristian Najran datang kepada Rasulullah. Seramai 60 pengendara kuda, 40 di
antaranya berasal dari kaum bangsawan dari tiga kaum yang berkuasa….Mohammad
bin Ja’far menceritakan kepada saya bahwa ketika mereka datang ke Madinah
mereka datang ke masjid nabi ketika beliau sedang melaksanakan solat tengah
hari….Para sahabat yang melihat mereka pada hari itu tidak pernah melihat
mereka seperti utusan yang datang sebelumnya dan setelahnya. Masa untuk
beribadah mereka telah datang mereka berdiri dan beribadah dalam masjid nabi, dan
mereka dibiarkan untuk berbuat demikian. Mereka beribadah menghadap ke Timur.”
(Sirah Ibn Ishaq, hal. 641 and 270).
Kenyataan sejarah ini memberikan sebuah visi dan
pemahaman yang integral kepada kita akan peranan Masjid dalam Masyarakat Islam.
Bentuk fisik Masjid Rasulullah pun sangat sederhana dengan penekanan pada aspek
fungsional dan penggunaan ruang yang multi-fungsional sebagaimana terlihat pada
sketsa dan rekonstruksi berikut:
Rekonstruksi Masjid Rasulullah
dengan berbagai fungsi dan semangat ke-Islamannya
Bukan berarti kita harus membangun masjid kita
sesederhana dan sebagaimana bentuk dari masjid Rasulullah diatas namun semangat
yang terkandung di dalamnya sebagai produk dari peradaban yang terbaik dalam
Islam tentu tidak dapat kita abaikan begitu saja. Dari visi dan pemahaman
masjid sebagai pusat pembangunan masyarakat ini tentu saja akan memiliki
implikasi yang berbeda pula terhadap perancangan sebuah Masjid. Kita sampai
pada sebuah kesimpulan sederhana bahwa perbedaan cara pandang suatu masyarakat
terhadap ritual dan kegiatan yang terjadi dalam Masjid secara meyakinkan
memiliki pengaruh besar terhadap perancangan dan bentuk fisik dari Masjid yang
dihasilkan.
Masjid Kita saat ini…
Artikel ini tidak bermaksud melarang apalagi mencela
pembangunan masjid yang besar, indah ataupun mahal. Namun artikel ini mengajak
kita untuk sama-sama mengevaluasi alasan di balik pembangunan besar dan mahal
tersebut. Apakah dengan dana yang sedemikian besar masjid tersebut dapat lebih
berfungsi, ataukah justru terjadi pemborosan dan pemubaziran dari uang yang
digunakan.
Masjid modern perlu
mengembangkan fungsinya dari hanya sebagai tempat sholat dan ibadah ritual
saja.
Masjid bukan hanya bangunan fisik saja, namun ia
seharusnya menjadi sebuah institusi pembangunan masyarakat yang tidak hanya
berkutat dalam aspek ibadah ritual saja. Masjid sebaiknya dirancang agar dapat
memfasilitasi berbagai kegiatan dan fasilitas seperti sekolah, perpustakaan,
warung, toko kelontong dsb agar masyarakat dapat lebih merasa memiliki
institusi ini dan ikut memakmurkannya. Hal ini dilakukan dengan memisahkan
antara ruang sholat dengan ruang publiknya. Selain aspek fisik bangunannya,
pembangunan masjid perlu dilakukan juga terhadap sumber daya manusia yang
mengelola masjid tersebut. Pelatihan manajemen, motivasi dan keimanan perlu
diberikan kepada mereka agar dapat bekerja dengan lebih baik, efisien dan
efektif.
[1] Penulis
adalah Profesor Madya di Jabatan Seni Bina, Fakulti Reka Bentuk dan Seni Bina, Universiti
Putra Malaysia, E-mail: nangkulautaberta@gmail.com
No comments:
Post a Comment