Nangkula Utaberta[1]
Sebagai sebuah negeri yang baru menerapkan Syari’ah Islam di Indonesia,
tentu propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), perlu melakukan berbagai
pembenahan di berbagai sektor. Keberhasilan perjuangan untuk penerapan Syariat
Islam di negeri Serambi Mekkah ini tidak seharusnya menjadikan kita menepuk
dada, namun diperlukan sebuah kerja keras bagi membuktikan keyakinan dan
keimanan kita bahwa pelaksanaan Syariah Islam merupakan solusi dari berbagai
masalah yang ada pada masyarakat Aceh.
Arsitektur merupakan salah satu aspek yang tidak bisa tidak, perlu
mendapatkan perhatian yang serius. Penggunaan bahasa Arsitektural yang tepat
dan ekspresi bangunan yang sesuai dengan semangat Islam mutlak diperlukan bagi
memberikan warna dalam pembentukkan wajah dan elemen fisik dari berbagai
bangunan dan ruang publik yang ada di Propinsi NAD. Artikel ini akan
berusaha memberikan beberapa contoh dan
kritik terhadap beberapa buah masjid di Malaysia yang dipahami sebagai
produk dari pergeseran dan penafsiran yang salah terhadap Arsitektur Islam. Ia
akan berusaha menguraikan berbagai masalah dari berbagai kesalahan pada
pemilihan bahasa Arsitektur masjid-masjid ini dan bagaimana implikasinya
terhadap pola pikir, imej dan pemahaman umat Islam di Indonesia.
Masalah “inferiority kompleks” atau rasa rendah diri ini begitu serius,
karena dalam praktek perancangan masjid modern di Indonesia dewasa ini
masyarakat memiliki kecenderungan untuk menghendaki perancangan masjid
sebagaimana yang mereka lihat pada masjid-masjid baru di Malaysia tersebut.
Krisis Revivalisme pada Perancangan Masjid di
Malaysia
Kalau kita lihat berbagai perancangan masjid
dan bangunan Arsitektur Islam di Malaysia dewasa ini, kita akan menemukan
sebuah lompatan-lompatan yang luar biasa. Berbagai pembangunan masjid besar dan
megah menghiasi berbagai penjuru kota di Malaysia .
Di satu sisi tentu hal ini menggembirakan hati kita sebagai seorang Muslim,
namun di sisi lain hal ini tentu memberikan sebuah perasaan risau dan tanda
tanya. Penulis melihat sebuah usaha masalah serius dari berbagai perancangan
masjid tersebut yakni dari segi penggunaan bahasa arsitektural dan ekspresi
bangunan yang digunakan. Mengapa bahasa arsitektural yang digunakan adalah
bahasa Arsitektur Timur Tengah, Turki ,
Iran dsb?
Mengapa harus dibuat sedemikian besar dan megah? Mengapa harus sedemikian
mahal?
Beberapa masjid hasil
Revivalisme Timur Tengah (atas: Masjid Shah Alam dan Masjid Wilayah
Persekutuan, bawah Masjid Putrajaya.
Pada kasus di lapangan
pemilihan bahasa arsitektur ini ternyata berimplikasi besar terhadap berbagai
perancangan masjid yang penulis temukan di lapangan. Banyak klien kaya di
Indoensia yang kemudian menghendaki bangunan masjid yang sebesar dan semegah
yang ada di Malaysia tersebut. Sebagai orang yang pernah mengalami pendidikan
arsitektur, penulis memahami implikasi dan efek negatif dari pemikiran ini.
Karenanya merupakan suatu kewajiban bagi penulis untuk menjelaskan apa yang
penulis pahami dari maraknya penggunaan bahasa Arsitektur Timur Tengah
(Revivalisme Yimur Tengah) ini sebagai pelajaran bagi kita semua.
Masalah pertama yang
menjadi akar dari permasalahan revivalisme dalam tipologi Masjid di Malaysia
adalah masalah Inferiority Complex
atau perasaan rendah diri dalam masalah Keislaman dari pembuat Masjid tersebut
terhadap Umat Islam yang ada di Timur Tengah. Perasaan ini beranggapan bahwa
Islam yang ada di Timur Tengah jauh lebih baik dari Islam yang ada di Asia Tenggara
terutama Malaysia karena Islam yang ada di Timur Tengah lebih dekat kepada
Rasulullah SAW. Perasaan rendah diri ini kemudian berimplikasi dalam banyak
hal, salah satunya dalam perancangan sebuah Masjid.
Sebab lain dari
Revivalisme tipologi masjid ini adalah pendekatan tradisional, bahwa kondisi
ideal Islam adalah kondisi di masa lampau (standar kebudayaan Islam terletak
pada masa lampau). Masalahnya contoh Arsitektural yang diambil bukanlah pada
zaman Rasulullah, Sahabat atau Khulafaur Rasyidin namun pada masa dimana
peradaban Islam dianggap mengalami kejayaan, yang biasanya dipahami sebagai
Turki Ustmani atau Safavid di Persia.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin dianggap sebagai suatu masa dimana pembinaan
sebuah bangunan atau Arsitektural dianggap sebagai suatu hal yang tidak
berguna, Masa ini dalam sejarah Islam dianggap sebagai sebuah masa “Kevakuman”
dalam karya-karya Arsitektur karenanya produk-produk Arsitektural pada masa ini
tidak dapat dikatakan sebagai suatu produk Arsitektur Islam. Karenanya banyak
Arsitek yang kemudian mengambil tipologi Masjid-masjid pada zaman Turki Ustmani
dan Safavid di Persia sebagai rujukan dari desain-desain mereka.
Rekonstruksi Masjid Rasulullah
dengan berbagai aktivitas dan semangat ke-Islamannya
Revivalisme pada
prinsipnya adalah pembangkitan kembali apa yang pernah ada di masa lampau.
Metode ini sebenarnya dapat menjadi suatu sumber ide dan inspirasi dalam sebuah
perancangan, namun ketika ia lebih merupakan sebuah penjiplakan dan imitasi
maka sebagaimana telah disebutkan sebelumnya akan membawa banyak masalah baik
dari segi akar intelektual, imej yang ditimbulkan dan aplikasinya dalam
perancangan.
Jika masalah yang
pertama lebih merupakan sebab dari seluruh krisis revivalisme dalam tipologi
sebuah masjid dan lebih berbicara dalam tatanan konsep, maka masalah-masalah
yang ada berikutnya lebih merupakan suatu hal yang aplikatif dan tampak pada
sebuah bangunan.
Masalah kedua dari
suatu proses penjiplakan yang terjadi dalam tipologi sebuah Masjid adalah
krisis imej dan simbol pada sebuah Masjid. Masalah ini biasanya
direpresentasikan dengan penggunaan kubah, menara, mihrab dan banyak elemen
masjid lainnya. Jika kita kaji berbagai ayat Al-Qur-an dan hadits serta berbagai
sumber otentik dari prinsip nilai-nilai Islam lainnya maka kita akan mendapati
sebuah kenyataan bahwa tidak ada batasan yang baku dari perancangan sebuah
masjid. Elemen-elemen masjid sebagaimana yang disebutkan sebelumnya lebih
merupakan sebuah produk dari pemikiran Islam yang terlahir dari interaksi
antara prinsip-prinsip dasar Islam dengan pemikiran masyarakat ketika itu.
Artinya ia bukanlah prinsip yang asas dari Islam itu sendiri.
Jika kita lihat
beberapa masjid seperti Masjid Putrajaya, Masjid Shah Alam, Masjid Wilayah dan Masjid
UTM[2] dsb kita akan
mendapati sebuah kenyataan bahwa aspek simbol dan imej ini begitu diutamakan
sehingga mengorbankan banyak hal terutama biaya. Pada Masjid Putra kita medapati penggunaan
kubah Iran lengkap dengan segala ukiran dan ornamennya yang pasti mahal baik
dari segi pembuatannya maupun perawatannya tanpa sebuah fungsi yang jelas
selain pembentuk imej dan simbol. Pada kasus Masjid Shah Alam dan Masjid UTM
selain dari kubahnya yang pasti mahal, kita juga mendapati banyak sekali menara
hasil jiplakan dari Blue Mosque dan banyak masjid lainnya pada masa Turki
Ustmani yang tidak memperhitungkan fungsi dan biaya yang harus dikeluarkan.
Sekali lagi alasan utamanya adalah imej dan simbolisme. Hal yang sama juga akan
kita temui dalam Masjid Wilayah, Masjid UIA dan banyak masjid sejenisnya.
Masalah ketiga yang
menjadi inti masalah dari proses penjiplakan ini adalah bergesernya fungsi
Masjid dari fungsi awalnya sebagai pusat pembangunan masyarakat pada masa
Rasulullah, menjadi sebuah rumah Tuhan dan tempat ibadah saja pada berbagai
Masjid di Malaysia atau bahkan menjadi monumen dan simbol negara sebagaimana
pada kasus Masid Putra dan Masjid Shah Alam.
Masalah ini merupakan
masalah yang sangat krusial dan penting karena ia tidak hanya berhubungan
dengan masalah Arsitektural dari masjid saja namun ikut mempengaruhi bagaimana
anatomi dan perkembangan masyarakat Islam. Masalah ini ikut menentukan dan
membentuk kualitas masyarakat Islam.
Di masa lampu ketika
Masjid berperan sebagai pusat pembangunan masyarakat sebagaimana Masjid
Rasulullah dan Masjid-masjid kampung
dahulu, kita mendapati sebuah sistem masyarakat yang sangat rapat dan
interaktif. Masyarakat biasa berkumpul, berdiskusi dan bekerjasama di dalam
masjid. Banyak masalah yang dapat dibicarakan serta diselesaikan bersama-sama
sehingga masjid sebagai sentral interaksi masyarakat bekerja dengan baik.
Masjid Universiti Teknologi
Malaysia dengan elemen-elemen yang ditiru : Gerbang Iwan di Iran, Menara
dari Blue Mosque di Turki dan Kubah dari Masjid-i Shah di Isfahan.
Pada kasus masjid UTM
kita mendapati sebuah konsep tentang Rumah Tuhan yang berimplikasi dalam
perancangan hingga pemilihan bahan dari Masjid ini. Konsep rumah Tuhan
memberikan sebuah implikasi bahwa sebuah Masjid haruslah besar, cantik dan
mahal. Hal inilah yang kemudian melahirkan banyak pertanyaan pada banyak aspek
dari Masjid UTM terutama ketika dikaitkan dengan biaya yang harus dikeluarkan
karenanya. Ide tentang rumah Tuhan menyebabkan penggunaan Masjid menjadi sangat
terbatas pada kegiatan-kegiatan ritual saja. Kegiatan-kegiatan seperti kegiatan
sosial, olah raga, pelatihan-pelatihan keterampilan, kajian dan diskusi
keislaman bahkan diskusi akademik pun menjadi suatu kegiatan yang sulit
ditemukan.
Pada perancangan
berbagai masjid Revivalime sebagaimana Masjid Putrajaya dan Masjid Shah Alam
kita mendapati sebuah masalah yang sangat serius! Karena pada konsep awalnya
masjid tersebut diperuntukkan untuk monumen maka proses lansekap, penataan
massa dan penempatan posisinya pun disesuaikan dengan kebutuhan tersebut.
Akibatnya situasi dan posisi dari masjid tersebut memang ’menjauhkan diri’ dari
masyarakat yang seharusnya menjadi pengguna masjid tersebut. Karenanya jangan
heran jika Masjid yang dibangun sebagai monumen tersebut kemudian ditinggalkan
oleh jama’ahnya. Karena sebenarnya bukan jamaah sebenarnya yang meninggalkan
masjid tersebut namun masjid tersebutlah yang dirancang untuk tidak didatangi
oleh jamaahnya. Jika Masjid kemudian dirancang untuk ditinggalkan oleh
jemaahnya maka untuk apa kita kemudian menyebutnya Masjid.
Dua pergeseran fungsi
dari Masjid sebagaimana disebutkan diatas merupakan suatu hal yang berbahaya
karena ia mengkotak-kotakkan antara aspek sekular dari Islam dengan aspek religiusnya. Islam adalah suatu agama
yang melihat masalah duniawi dengan masalah akhirat sebagai sebuah kesatuan
sistem dan kesatuan makna. Ia adalah suatu agama yang dekat dengan keseharian
umatnya, suatu agama yang melihat kehidupan keseharian sebagai suatu bentuk
ibadah sebagaimana ibadah ritualnya. Melepaskan dua makna ibadah di dalamnya
hanya akan menimbulkan degradasi pemahaman Islam pada masyarakat dan akhirnya
menyeartikelkan kemunduran dalam pemahaman keislaman.
Masalah kempat
berhubungan erat dengan imej dari sebuah bangsa. Proses Revivalisme yang
berdasarkan sebuah penjiplakan akan membawa banyak masalah pada identitas
nasional. Ada berbagai alasan yang menyebabkan suatu bangsa melakukan peniruan
atau Revivalisme. Sebagian berpendapat bahwa dengan melakukan penjiplakan
terhadap suatu produk akan menjadikan bangsa mereka sehebat peradaban yang
mereka tiru tersebut. Sebagian karena masalah politik agar bangsanya diakui
sebagai bagian dari suatu komunitas, sementara sebagian yang lain dilakukan
dalam upaya mengangkat derajat kemuliaan dari bangsanya. Namun dari semua motif
yang ada jelas sekali terlihat bahwa revivalisme atau penjiplakan lahir dari
perasaan inferior atau rendah diri dari suatu bangsa yang merasa tidak memiliki
apa-apa.
Bangsa Kita Memiliki Bahasa Arsitektur Sendiri
untuk Arsitektur Masjid
Jika kita mau melihat
sejarah, maka kita akan mendapati bahwa sebenarnya bangsa kita memiliki
warisannya sendiri. Tipologi masjid tradisional merupakan Masjid yang lahir
dari budaya dan sistem nilai masyarakat setempat. Metode perancangan ini telah
teruji oleh waktu dan tempat, karenanya kemampuan adaptasi terhadap lingkungan
dan kondisi bangsa ini tentu juga telah teruji. Satu hal yang penting dari
pendekatan ini adalah ia mencerminkan budaya dan identitas dari bangsa kita
karenanya dapat menjadi suatu bentuk kebanggan kita terhadap apa sebenarnya
identitas arsitektur Indonesia.
Masalah yang terakhir
sebenarnya telah digambarkan pada pembahasan sebelumnya. Ia berbicara tentang
masalah yang timbul sebagai sebuah implikasi dari penjiplakan yang terjadi pada
pendekatan Revivalisme terhadap kondisi fisik dan budaya setempat. Secara
sederhana dapat kita pahami bahwa suatu pengadopsian suatu budaya memerlukan
sebuah adaptasi.
Memperjelas apa yang
telah disampaikan sebelumnya bahwa untuk tipologi sebuah masjid kita memiliki
identitas dan produk tersendiri. Pada masjid-masjid tradisional kita mendapati
bahwa bahan yang digunakan merupakan bahan yang mudah didapati di lokasi
pembangunan sehingga dapat mengurangi biaya konstruksi. Atap yang digunakan pun
merupakan bumbung meru yang sesuai dengan iklim setempat dan merupakan suatu
bentuk adaptasi terhadap sistem nilai serta budaya setempat.[3]
Beberapa contoh
tipologi Masjid Nusantara (Dari kiri ke kanan), Atas: Masjid Agung Banten,
Masjid Taluk (padang ),Bawah: Masjid Demak,
Masjid Lubuk Bauk (padang ) dan Masjid Limo Kaum
(padang )
Suatu
Renungan untuk Perancangan Masjid di Nangroe Aceh Darussalam
Sejarah telah mencatat bahwa Masjid Baiturrahman merupakan masjid yang
dibuat oleh pemerintah Kolonial Belanda sebagai suatu upaya untuk mengurangi
pengaruh para ulama besar Aceh yang anti dan gigih melawan pemerintah Belanda.
Bahasa Arsitektur Moghul dari India Utara yang digunakan merupakan interpretasi
pemerintah Belanda terhadap bentuk “Islam Ideal” yang berusaha mangalahkan
pamor Islam yang dibawa oleh para Ulama besar kita. Mereka memberikan stigma
“Islam Tradisional” kepada para ulama kita termasuk merendahkan masjid ciptaan
mereka yang lebih dekat dengan masyarakat Aceh.
Suatu produk Arsitektur lahir dari situasi dan kondisi serta pemikiran
suatu peradaban karenanya kita perlu memahami bagaimana sebenarnya situasi,
kondisi serta pemikiran yang menyebabkankan keberadaan produk tersebut. Tanpa
sebuah pemahaman terhadap situasi, kondisi dan pemikiran dibalik terciptanya
sebuah obyek kita akan mendapat sebuah masalah serius dalam prinsip, mekanisme
dan aplikasi dari produk tersebut.
Penulis tidak mengajak kita untuk membenci Masjid Baiturrahman sebagai
sebuah karya Arsitektural besar di Aceh, namun melalui artikel ini mari
sama-sama kita lakukan evaluasi terhadap perancangan masjid di masa depan agar
lebih sesuai dengan semangat, prinsip hidup dan aspirasi masyarakat Aceh.
[1] Penulis
adalah Profesor Madya di Jabatan Seni Bina, Fakulti Reka Bentuk dan Seni Bina,
Universiti Putra Malaysia, E-mail: nangkulautaberta@gmail.com
[3] Bumbung
Meru menurut beberapa ahli sejarah berasal dari filosofi Gunung Mahameru yang
merupakan suatu mitos suci dari agama Hindu. Pengadaptasian ini dapat
dimengerti mengingat sebelum Islam datang datang Hindu telah menyebar dan
dianut oleh masyarakat di wilayah Nusantara.
JackpotCity Casino - Login | JM Hub
ReplyDeleteYou can log in, or place bets on any number of games. For those not able 고양 출장안마 to log in, you need to first 평택 출장샵 create 정읍 출장안마 your 안동 출장마사지 account, 전라남도 출장샵 then log in.